Kamis, 29 Dzulhijjah 1422/ 14 Maret 2002
Usai menunaikan ibadah haji, Ibrahim bin Adham berniat ziarah ke mesjidil Aqsa. Untuk
bekal di perjalanan, ia membeli 1 kg kurma dari pedagang tua di dekat mesjidil Haram.
Setelah kurma ditimbang dan dibungkus, Ibrahim melihat sebutir kurma tergeletak didekat
timbangan. Menyangka kurma itu bagian dari yang ia beli, Ibrahim memungut dan
memakannya. Setelah itu ia langsung berangkat menuju Al Aqsa.
4 Bulan kemudian, Ibrahim tiba di Al Aqsa. Seperti biasa, ia suka memilih sebuah tempat
beribadah pada sebuah ruangan dibawah kubah Sakhra. Ia shalat dan berdoa khusuk sekali.
Tiba tiba ia mendengar percakapan dua Malaikat tentang dirinya.
"Itu, Ibrahim bin Adham, ahli ibadah yang zuhud dan wara yang doanya selalu dikabulkan
ALLAH SWT," kata malaikat yang satu.
"Tetapi sekarang tidak lagi. doanya ditolak karena 4 bulan yg lalu ia memakan sebutir kurma
yang jatuh dari meja seorang pedagang tua di dekat mesjidil haram," jawab malaikat yang
satu lagi.
Ibrahim bin adham terkejut sekali, ia terhenyak, jadi selama 4 bulan ini ibadahnya,
shalatnya, doanya dan mungkin amalan-amalan lainnya tidak diterima oleh ALLAH SWT garagara
memakan sebutir kurma yang bukan haknya. "Astaghfirullahal adzhim" ibrahim
beristighfar.
Ia langsung berkemas untuk berangkat lagi ke Mekkah menemui pedagang tua penjual kurma.
Untuk meminta dihalalkan sebutir kurma yang telah ditelannya.
Begitu sampai di Mekkah ia langsung menuju tempat penjual kurma itu, tetapi ia tidak
menemukan pedagang tua itu melainkan seorang anak muda. "4 bulan yang lalu saya membeli
kurma disini dari seorang pedagang tua. kemana ia sekarang ?" tanya ibrahim.
"Sudah meninggal sebulan yang lalu, saya sekarang meneruskan pekerjaannya berdagang
kurma" jawab anak muda itu.
"Innalillahi wa innailaihi roji'un, kalau begitu kepada siapa saya meminta penghalalan ?".
Lantas ibrahim menceritakan peristiwa yg dialaminya, anak muda itu mendengarkan penuh
minat. "Nah, begitulah" kata ibrahim setelah bercerita, "Engkau sebagai ahli waris orangtua
itu, maukah engkau menghalalkan sebutir kurma milik ayahmu yang terlanjur ku makan tanpa
izinnya?".
"Bagi saya tidak masalah. Insya ALLAH saya halalkan. Tapi entah dengan saudara-saudara
saya yang jumlahnya 11 orang. Saya tidak berani mengatas nama kan mereka karena mereka
mempunyai hak waris sama dengan saya."
"Dimana alamat saudara-saudaramu ? biar saya temui mereka satu persatu."
Created by: Syihab
Page 3 of 38
Setelah menerima alamat, ibrahim bin adham pergi menemui. Biar berjauhan, akhirnya selesai
juga. Semua setuju menghalakan sebutir kurma milik ayah mereka yang termakan oleh
ibrahim.
4 bulan kemudian, Ibrahim bin adham sudah berada dibawah kubah Sakhra. Tiba tiba ia
mendengar dua malaikat yang dulu terdengar lagi bercakap cakap. "Itulah ibrahim bin adham
yang doanya tertolak gara gara makan sebutir kurma milik orang lain."
"O, tidak.., sekarang doanya sudah makbul lagi, ia telah mendapat penghalalan dari ahli waris
pemilik kurma itu. Diri dan jiwa Ibrahim kini telah bersih kembali dari kotoran sebutir kurma
yang haram karena masih milik orang lain. Sekarang ia sudah bebas."
"Oleh sebab itu berhati-hatilah dgn makanan yg masuk ke tubuh kita, sudah halal-kah? lebih
baik tinggalkan bila ragu-ragu...
Kamis, 18 Februari 2010
Minggu, 14 Februari 2010
Adik Tiriku Sayang
Marah, kesal, dan jengkel campur jadi satu dalam perasaanku saat ini. Sejak ayahku menikah lagi dengan janda itu setelah bunda meninggal, aku mendapatkan sebuah kejutan yang benar-benar tidak kuharapkan sebelumnya. Yaitu seorang adik tiri.
"Yok, kenalin ini Hafid," kata ayahku memperkenalkanku dengan anak dari ibu baruku. "Yoyok," jawabku ketus.
"Hafid, apa kabar Mas?" balasnya. Aku diam saja, hanya menganggukkan kepala.
"Kalian kan seumur, gimana kalau nanti kalian daftar perguruan tinggi yang sama. Kan enak bisa berangkat bersama-sama," ujar ibu baruku itu.
"Enak aja, kamu pikir nyatuin dua unsur yang berbeda dan bertolak belakang itu gampang apa?" kataku dalam hati, kesal.
"Wah, itu ide yang bagus Ma. Iya kan Mas?" tanya Hafid.
"Tau ah, lihat aja nanti," balasku sambil meninggalkan mereka.
"Yoyok emang gitu. Jangan dimasukkin ke hati ya Fid," nasihat ayah. Hafid hanya mengangguk.
Tak pernah terpikirkan olehku mendapatkan adik tiri yang umurnya nggak jauh beda denganku. Walaupun tua aku sedikit. Tapi, perasaan takut disaingi dan kehilangan orang yang aku cintai sejak bunda tiada selalu menghantuiku siang dan malam.
"Pagi Mas," sapa Hafid ramah, membubarkan lamunanku.
"Pagi," jawabku sambil meninggalkan dia di ruang santai.
"Tunggu Mas, aku mau ngomong sama Mas," lanjut Hafid.
"Ada apa? Cepetan deh, aku nggak punya waktu banyak," sahutku.
"Aku tahu Mas dari awal udah nggak suka sama aku. Tapi aku berusaha baik sama Mas. Coba pikirin lagi deh Mas, kita pura-pura baik aja demi orang tua kita. Biar nggak nambah beban pikiran mereka. Iya kan?" tanyanya lagi .
"Eh, asal kamu tahu aja ya, aku nggak pernah dan nggak akan pernah mau pura-pura baik sama kamu. Baik di depan orang tua kita ataupun di mana aja. Kamu udah ngerebut segala sesuatu yang aku sayangi. Dan satu hal lagi yang perlu kamu tahu, kamu tuh bencana bagi aku," balasku marah. Aku tahu ada tetesan air mata di pipi adik tiriku itu, tapi aku tak peduli.
Setelah kejadian pagi, itu aku tidak pernah menganggapnya walaupun dia masih tetap bersikap baik padaku. Ya say hallo lah, nawarin aku makan lah, dan selalu bawain aku oleh-oleh setiap dia pergi dengan orang tua kami ataupun sendirian. Di depan ayahku atau tidak.
Aku memang nggak pernah mau jalan bareng sama mereka. Aku pikir akan tambah memalukan bila aku jalan bareng dan bertemu orang-orang yang aku kenal. Mau ditaruh mana mukaku?
Sore itu, sepulang dari rumah temanku, kulaju mobilku dengan kecepatan tinggi. Semua amarah yang setiap hari kupendam kulampiaskan pada jalanan itu. Tiba-tiba… brak!
Mobilku menabrak sesorang yang sedang menyeberang jalan. Spontan aku keluar dari mobilku. Kulihat wajah yang berlumuran darah serta barang-barang yang berserakan bagaikan puing-puing kaca pada peristiwa bom di J.W. Marriot. Wajahnya tak asing bagiku. Ya Tuhan! Wajah itu milik adik tiriku.
Entah perasaan senang atau sedih yang kurasakan sekarang. Aku menabrak adik tiriku sendiri. Pikiran ini terus menghantuiku sepanjang dokter memeriksa adikku. Aku memilih tidak memberitahukan kejadian ini kepada ayah dan ibu tiriku karena aku takut. Ya Tuhan, apa yang kulakukan?
"Anda saudara korban?" tanya dokter kepadaku.
"Ya, saya saudaranya," jawabku gemetar.
"Saudara Anda kehilangan banyak darah. Sedangkan persediaan darah O rumah sakit ini menipis," jelas dokter tersebut.
"Saya…saya O Dok. Ambil saja darah saya," ujarku, masih gemetar.
"Baik, silakan Anda ikut suster ini untuk tes darah," lanjut dokter.
"Baik Dok," jawabku.
Satu jam kemudian. "Saudara Anda sudah sadar dan dia ingin berbicara dengan Yoyok. Anda Yoyok?" tanya dokter tersebut.
"Saya Yoyok, kakaknya, Dok" jawabku. Tanpa sadar aku mengakui dia sebagai adikku.
"Boleh saya menemuinya Dok?" tanyaku.
"Silakan," jawab dokter itu sambil mempersilakan aku masuk.
"Mas Yoyok," lirih suara adikku.
"Jangan banyak ngomong dulu. Kamu masih lemas, istirahat saja dulu," kataku.
"Mas, makasih ya udah repot-repot nolongin saya. Sampai-sampai Mas mau menyumbangkan darah buat saya. Tadi waktu aku keluar dari mal ada mobil dengan kecepatan tinggi tiba-tiba menabrakku. Sayang aku tidak melihat orang tersebut karena aku pasti akan memakinya. Aku membawakan buku komputer yang Mas cari kemarin. Aku membelikannya tadi. Pasti sekarang buku itu sudah rusak atau hilang. Mas lihat?" katanya dengan suara lirih.
"Ti..tidak Fid. Mas nggak lihat," jawabku. Ternyata dia tidak tahu kalau akulah yang menabraknya. Ya Tuhan maafkan kesalahanku.
"Ya udah, nanti Hafid belikan lagi. Uhuk..uhuk…" sambil batuk dia berkata.
"Tuh kan, Mas udah bilang jangan banyak ngomong dulu. Entar tambah sakit lho," nasihatku.
"Nggak apa-apa kok Mas. Oh ya, mama sama papa mana?" tanyanya.
"Mama sama papa belum aku hubungi. Soalnya aku tadi gugup banget. Nanti deh kuberitahu mereka," balasku.
Tit…tit…tit…
Terdengar suara dari pendeteksi detak jantung persis di sebelah kepala adikku.
"Dokter, tolong Dokter! Ada apa dengan adikku Dokter?" spontan aku berteriak sambil memencet tombol panggilan darurat.
"Maaf Pak. Anda tunggu di luar sebentar," seru salah satu suster yang datang.
"Tidak, aku mau menemani adikku!" jawabku tegas.
"Baiklah, tapi agak menjauh sebentar," kata dokter itu.
Tak lama kemudian…
"Maaf Pak. Kami telah berusaha sekuat tenaga. Tapi adik bapak sudah menghembuskan nafas terakhirnya," jelas dokter itu.
"Tidaaaakkkkk! Jangan mati Dik. Aku belum minta maaf. Aku…aku bener-bener menyesal. Aku baru sadar kalau kamu anak yang baik. Ya Tuhan, jangan ambil nyawa adikku sekarang. Ya Tuhan, kembalikan adikku!" teriakku. Maafkan Mas, Fid…
Oleh Donny Maulana, Penulis adalah mahasiswa Stikom
Langganan:
Postingan (Atom)